Mengajar hari ini, menyiapkan generasi esok

15 November 2025

Dua Lilin di Ujung Senja

https://herisusantonews.blogspot.com/2025/11/dua-lilin-di-ujung-senja.html

Raka dan Naya selalu bilang bahwa hidup itu sebenarnya cuma panggung kecil tempat manusia mengambil peran seenaknya. Dan mereka berdua memilih jadi pemeran komedi. Dalam keseharian, mereka ribut seperti dua kucing yang berebut tempat tidur, namun tak pernah bisa hidup tanpa suara satu sama lain. Kadang mereka berdebat soal hal sepele—siapa yang paling banyak makan gorengan, siapa yang suara kentutnya lebih memalukan—tapi justru karena itulah keduanya merasa dunia ini masih waras.

Setiap sore, mereka nongkrong di warung kopi sederhana dekat kantor. Kursi plastiknya sering miring, meja kayunya sudah mulai keropos, tapi entah kenapa, tempat itu jadi saksi paling setia pertemanan mereka. Seperti sumur tua yang tetap memberi air walau musim berubah-ubah.

Namun belakangan, ada sesuatu yang berbeda dari Raka. Tawa yang biasanya meledak seperti petasan tahun baru kini hanya muncul sesekali, setipis asap dupa. Langkahnya melambat, dan matanya sesekali terlihat kosong—seperti lampu jalan yang kehilangan cahaya di dalamnya.

“Nah, jangan bilang kamu diet, Ra. Kamu kalau diet bisa bikin para tukang bakso rugi bandar,” candaan Naya suatu sore, mencoba memecah keheningan.

Raka tertawa kecil. “Iya, iya. Mesin tua kayak aku memang harus hati-hati.”

Jawaban itu terdengar enteng, tapi tidak bagi Naya. Kata “mesin tua” itu seperti paku kecil yang diam-diam menusuk hatinya. Ada hal yang tak pernah Raka ceritakan, itu sudah jelas. Tapi Naya tidak menekan. Ia tahu, sebagian orang butuh waktu untuk membuka pintu batinnya.

Suatu hari, Raka tidak muncul. Bukan hanya sekali—dua kali, tiga kali. Pesan singkat yang ia kirim hanya berbunyi, “Sorry, lagi banyak urusan.”

Naya gelisah. Rasa cemas dalam dadanya merebus dirinya sendiri, seperti panci tertutup yang terus memanas tanpa henti. Ia tahu Raka bukan tipe orang yang tiba-tiba hilang.

Ketika akhirnya mereka bertemu lagi, Raka batuk keras sampai tubuhnya membungkuk. Wajahnya pucat. Bukan pucat karena kurang tidur—lebih seperti kertas yang kehilangan warnanya.

“Ra, kamu sakit ya?” suara Naya melembut, hampir lirih.

“Ah, enggak. Ini cuma alergi sama muka kamu,” Raka masih bercanda. Tapi tawa itu rapuh sekali, seperti benang yang hampir putus.

Sore itu, mereka duduk di bukit kecil yang dulu sering mereka kunjungi saat masih sekolah. Angin mengibaskan rumput tinggi yang berbisik pelan. Tempat itu selalu punya cara mengembalikan kenangan.

“Aneh ya,” kata Naya pelan. “Dulu kita sering ke sini buat ngomongin masa depan. Sekarang kita ke sini buat nyari napas.”

Raka tersenyum tipis. “Setidaknya masih bisa nyari napas bareng.”

Ada sesuatu di balik senyum itu. Sesuatu yang seperti kotak musik yang suaranya hampir habis.

Beberapa hari kemudian, Naya sudah tidak tahan. Ia nekat datang ke rumah Raka. Pintu dibukakan oleh ibunya—wajahnya kusut, seperti kain yang kehilangan warna.

“Naya… kamu belum tahu, ya?” suara wanita itu bergetar.

Naya menatap bingung. “Tahu apa?”

Ibu Raka menahan tangis. “Raka… sudah lama sakit. Cancer, Nak. Dia tidak mau kamu tahu. Dia takut kamu sedih. Dia bilang… kamu harus tetap bisa ketawa meskipun suatu hari dia nggak ada.”

Langit dalam dada Naya runtuh saat itu juga.

Di kamar Raka, ia menemukan sebuah kotak kecil berisi catatan-catatan pendek. Di salah satunya tertulis:

“Naya, kalau suatu hari aku pergi duluan, tolong lanjutkan hobi kita: bikin hidup ini nggak terlalu serius. Aku tahu kamu bisa.”

Air mata Naya jatuh, tapi bibirnya tersenyum. Raka, si bodoh itu, bahkan di tengah penyakitnya masih sempat memikirkan dirinya.

Sejak hari itu, Naya lebih sering menemani Raka. Mereka kembali bercanda, meski tawa mereka ibarat dua lilin yang mengibaskan cahaya rapuh di ujung senja.

Suatu malam, saat pulang dari rumah Raka, Naya mengirim pesan,
“Besok aku bawain gorengan favorit kamu. Tapi jangan habisin sendiri ya.”
Raka menjawab dengan emoji tertawa.

Tapi keesokan harinya, Naya tidak pernah datang.

Ia mengalami kecelakaan. Kecelakaan sederhana tapi mematikan. Hidup, kadang seperti jendela kaca yang terlihat kuat, namun retaknya tak bisa ditebak.

Ketika kabar itu sampai ke Raka, ia terdiam. Bukan menangis. Bukan marah. Hanya diam… seperti jam yang kehilangan jarumnya.

“Harusnya… aku dulu,” gumamnya lirih.
Kalimat itu pecah seperti daun kering yang diremas angin.

Beberapa hari kemudian, Raka memeluk salah satu pesan yang dulu ia tulis untuk Naya:

“Kalau aku pergi duluan, jangan berhenti ketawa, ya.”

Ironisnya, sekarang pesan itu justru terasa seperti pesan dari Naya untuk dirinya.

Ia menatap langit senja melalui jendela. Awan-awan tipis bergerak perlahan. Dua gumpalan berdampingan—satu memudar lebih cepat, satu masih bertahan, tapi pelan-pelan menyusul.

Raka tersenyum tipis. Senyum kecil, goyah, tapi tulus.

Karena beberapa pertemanan, seperti dua lilin kecil, tetap saling memberi cahaya—bahkan ketika salah satunya padam lebih dulu.

Dan Raka tahu, selama ia masih bisa tersenyum, Naya tidak benar-benar pergi.

Baca juga :

Cerpen - Jejak Dibalik Pintu Senyap

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Subscribe Us

Latihan TKA (SD, SMP, SMA/SMK)

Latihan TKA (SD, SMP, SMA/SMK)
Berlatih dan Bisa

Pengikut

Statistik Pengunjung

Promo