Facebook

Hutang (yang) Tak Mungkin Terbayar

Siang itu saya masih sibuk 'bercanda' dengan tombol-tombol keyboard. Waktu menunjukkan sekitar pukul 14.00 WIB. Apa yang dikerjakan?. Saat itu saya masih menyelesaikan pekerjaan sekolah, padahal hari itu adalah hari Minggu. Hari yang biasa digunakan orang untuk 'refreshing' atau sekedar berkumpul dengan keluarga.

Handphone bergetar dan 'melantunkan' ringtone kesayanganku. Sejenak mengalihkan perhatianku dari layar monitor. Kulirik sebentar ke layar handphone, dan terlihat siapa yang menelpon. Dialah ibuku. Segera kuangkat teleponnya. "Assalamu 'alaikum bu", sapaku. "Wa 'alaikum salam", jawab ibuku. Saat itu perasaanku kurang nyaman. Mengapa?. Saya kurang nyaman kalau ibu telepon saya saat saya masih ada kesibukan di sekolah dan kebetulan di hari Minggu. Hari Minggu seperti sudah menjadi 'hak' orang tua untuk kadang dikunjungi. (Walaupun sebulan sekali atau dua kali). Jadi, saat momen yang mestinya saatnya saya pulang kampung menemui beliau, dan saya justru ada kesibukan lain, maka itu sesuatu banget. Dan kalau sampai ibu telepon berarti beliau 'berharap' kahadiran saya saat itu. Walaupun ibuku tidak pernah mengatakannya secara langsung. Tetapi sinyal-sinyal ketika ibu 'kangen' itu biasanya bisa saya tangkap. Perasaan kecewa, bahwa ketika beliau menginginkan 'sekedar' kehadiran saya tetapi saya tidak bisa melakukannya.

"Ini sedang di mana le?", tanya ibuku datar. Pertanyaan seperti ini dan di hari minggu memang paling saya 'takutkan'. Ini seperti 'Question in wrong time and wrong place'. 'Kesalahan' pertama adalah harinya, hari minggu yang biasanya orang di rumah dan saya malah di sekolah. 'Kesalahan' kedua adalah tempat. Hari minggu, tempat yang biasa orang berada adalah di rumah atau tempat refreshing, dan saya malah di sekolah. Apakah itu salah?. Sebenarnya tidak sama sekali. Orang bekerja terkadang membutuhkan ada waktu ekstra jika waktu normal tidak cukup. Tetapi bagi sebagian orang, terutama orang tua saya tidak demikian. Orang tua terkadang berpikir simple. Jika hari kerja ya bekerja, jika libur ya tidak bekerja. Begitu kira-kira.

Tetapi itu mungkin sudah qodarullah. Sudah dua kali telepon dan kebetulan saya sedang di sekolah dan di hari minggu. Kenapa saat saya hari minggu sedang di rumah, eh ibu tidak telepon. Tetapi sekali lagi itu adalah qodarullah yang kita mesti menerimanya dengan ikhlas.

"Ehm .. anu .. ini di sekolahan bu", jawab saya ragu-ragu. "O .. masih ada kerjaan yang belum selesai ya?", tanya ibu saya. "Ya udah, gak pa-pa", ibuku melanjutkan, seakan sudah tahu apa yang akan saya katakan. "Mungkin ada hal yang penting ya bu?", tanyaku. "Nggak ada apa-apa kok, cuma pengin telpon aja", jawab ibuku. "Maaf ya bu minggu ini belum bisa pulang", ujarku. "Ya gak pa-pa yang penting keluarga sehat semua kan?", tanya ibuku. "Iya alhamdulillah sehat semua. Bapak dan ibu juga sehat kan?", gantian saya bertanya. "Alhamdulillah, sehat semua. Ya udah dulu ya nanti malah ganggu kerjaanmu", sahut ibuku. Kalimat terakhir itulah yang semakin membuat tidak nyaman dihatiku. 

 Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta'ala. Sekelumit cerita tadi adalah salah satu hal 'kecil' yang membuat saya kecewa. Kecewa karena tidak bisa 'sekedar' membahagiakan orang tua. Walaupun hanya dengan kehadiran kita di sisi mereka. Hal itu mungkin 'kecil' jika dibandingkan dengan misalnya seorang anak yang melakukan kedurhakaan kepada orang tuanya. Jika kita timbang, mungkin cerita tadi masih tergolong kecil dibandingkan 'level' dosa ketika anak durhaka kepada orang tuanya. Atau, seorang anak yang melakukan hal-hal yang nyata-nyata membuat orang tua kecewa. Misalnya narkoba, main judi, tidak mau sholat dan lain-lain. Tentu hal-hal itu lebih menyakitkan hati orang tua kita. Tetapi bisa jadi 'besar' jika mengingat pahala besar pula yang sudah kita lewatkan. Sesungguhnya senyum kebahagiaan orang tua karena kita, adalah pahala yang sangat besar. Sebaliknya setetes air mata kesedihan orang tua dikarenakan ulah kita, maka sungguh itu adalah dosa yang sangat besar dan sudah cukup untuk menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Na'udzubillah.

Birrul walidain adalah topik yang sangat mudah membuat saya baper. Maka dari itu, satu tips dari saya ketika kita sedang 'down' adalah dengan mengingat Birrul walidain. 'Down' ketika misalnya kita lagi sedih, ketika kita lagi gagal mencapai sesuatu, bahkan ketika kita malas beribadah, dan lain sebagainya. Ketika kita merasa seperti itu, ingatlah tentang Birrul walidain, maka mudah-mudahan hati kita akan tergerak lebih bersemangat, lebih optimis dalam hidup. Misalnya seorang pelajar yang sedang malas belajar. Ketika dia teringat atau tahu bahwa senyum kebahagiaan orang tua adalah pahala yang sangat besar. Maka bisa jadi dengan mengingat Birrul walidain dia akan bersemangat lagi untuk belajar, karena dengan belajar dan mendapatkan nilai baik, maka orang tua akan bahagia. Kebahagiaan orang tua adalah pahala besar bagi kita.

Sejenak saya jadi teringat dengan suatu cerita dari setidaknya dua orang ustadz dalam suatu kajian bertema tentang Birrul walidain. Cerita itu sangat menyentuh. Setidaknya ada ustadz Syafiq Riza Basalamah dan Ustadz Abu Zubair Al Hawary di youtube yang pernah menyampaikan cerita yang sama. Cerita ini tidak bersumber dari Al qur'an maupun hadits, tetapi merupakan syair atau karangan pujangga zaman dahulu. Tetapi walaupun bukan dari Al qur'an dan hadits, cerita itu bisa membantu kita untuk menghayati bagaimana hati orang tua (khususnya ibu) kepada anak-anaknya. Dengan begitu, maka memudahkan kita untuk melakukan apapun dalam rangka berbakti kepada kedua orang tua.

Cerita itu kalau saya ringkas kurang lebih seperti ini :

***

Suatu ketika ada pemuda yang dijanjikan akan diberikan emas dan perak oleh seseorang. Orang ini akan memberikan emas dan peraknya jika pemuda tadi mau memberikan hati ibunya. Maka bergegaslah sang pemuda menemui ibunya. Ditikamnya dada ibunya dan diambillah hatinya.

Saking tergesa-gesanya pemuda itu untuk segera mendapatkan emas dan perak, maka ketika sedang berlari terjatuhlah sang pemuda karena kakinya tersandung batu. Maka terlepaslah hati sang ibu dari gengaman pemuda itu. Hati sang ibu itu terjatuh ke tanah dan berlumuran dengan debu. Dalam keadaan seperti itu, berkatalah hati sang Ibu, "Nak, apakah engkau baik-baik saja?". Mendengar perkataan hati sang ibu tersebut, bergetarlah hati pemuda itu. Maka diambilnya hati sang ibu dan dibasuhnya dengan cucuran air mata penyesalan. Saking menyesalnya, pemuda itu mengambil pisaunya dan hendak ditikam ke dadanya. Melihat hal itu berkata lagi hati sang ibu, "Tahan tanganmu wahai anakku, jangan engkau tikam hatiku untuk yang kedua kalinya".

***

Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta'ala. Itulah ibu kita. Sungguh menakjubkan hati seorang ibu. Walaupun sudah disakiti oleh anaknya sekalipun, sayangnya tidak akan pernah pupus.


Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Subscribe Us

Pengikut

Statistik Pengunjung