Siang itu saya masih
sibuk 'bercanda' dengan tombol-tombol keyboard. Waktu menunjukkan sekitar pukul
14.00 WIB. Apa yang dikerjakan?. Saat itu saya masih menyelesaikan pekerjaan
sekolah, padahal hari itu adalah hari Minggu. Hari yang biasa digunakan orang
untuk 'refreshing' atau sekedar
berkumpul dengan keluarga.
Handphone bergetar dan
'melantunkan' ringtone kesayanganku. Sejenak mengalihkan perhatianku dari layar
monitor. Kulirik sebentar ke layar handphone, dan terlihat siapa yang menelpon.
Dialah ibuku. Segera kuangkat teleponnya. "Assalamu 'alaikum bu", sapaku. "Wa 'alaikum salam", jawab ibuku. Saat itu perasaanku kurang
nyaman. Mengapa?. Saya kurang nyaman kalau ibu telepon saya saat saya masih ada
kesibukan di sekolah dan kebetulan di hari Minggu. Hari Minggu seperti sudah
menjadi 'hak' orang tua untuk kadang dikunjungi. (Walaupun sebulan sekali atau
dua kali). Jadi, saat momen yang mestinya saatnya saya pulang kampung menemui
beliau, dan saya justru ada kesibukan lain, maka itu sesuatu banget. Dan kalau
sampai ibu telepon berarti beliau 'berharap' kahadiran saya saat itu. Walaupun
ibuku tidak pernah mengatakannya secara langsung. Tetapi sinyal-sinyal ketika
ibu 'kangen' itu biasanya bisa saya tangkap. Perasaan kecewa, bahwa ketika
beliau menginginkan 'sekedar' kehadiran saya tetapi saya tidak bisa
melakukannya.
"Ini sedang di mana le?", tanya
ibuku datar. Pertanyaan seperti ini dan di hari minggu memang paling saya
'takutkan'. Ini seperti 'Question in
wrong time and wrong place'. 'Kesalahan' pertama adalah harinya, hari
minggu yang biasanya orang di rumah dan saya malah di sekolah. 'Kesalahan'
kedua adalah tempat. Hari minggu, tempat yang biasa orang berada adalah di
rumah atau tempat refreshing, dan
saya malah di sekolah. Apakah itu salah?. Sebenarnya tidak sama sekali. Orang
bekerja terkadang membutuhkan ada waktu ekstra jika waktu normal tidak cukup.
Tetapi bagi sebagian orang, terutama orang tua saya tidak demikian. Orang tua
terkadang berpikir simple. Jika hari
kerja ya bekerja, jika libur ya tidak bekerja. Begitu kira-kira.
Tetapi itu mungkin
sudah qodarullah. Sudah dua kali
telepon dan kebetulan saya sedang di sekolah dan di hari minggu. Kenapa saat
saya hari minggu sedang di rumah, eh ibu tidak telepon. Tetapi sekali lagi itu
adalah qodarullah yang kita mesti
menerimanya dengan ikhlas.
"Ehm .. anu .. ini di sekolahan bu",
jawab saya ragu-ragu. "O .. masih
ada kerjaan yang belum selesai ya?", tanya ibu saya. "Ya udah, gak pa-pa", ibuku
melanjutkan, seakan sudah tahu apa yang akan saya katakan. "Mungkin ada hal yang penting ya bu?",
tanyaku. "Nggak ada apa-apa kok,
cuma pengin telpon aja", jawab ibuku. "Maaf ya bu minggu ini belum bisa pulang", ujarku. "Ya gak pa-pa yang penting keluarga sehat
semua kan?", tanya ibuku. "Iya
alhamdulillah sehat semua. Bapak dan ibu juga sehat kan?", gantian
saya bertanya. "Alhamdulillah, sehat
semua. Ya udah dulu ya nanti malah ganggu kerjaanmu", sahut ibuku.
Kalimat terakhir itulah yang semakin membuat tidak nyaman dihatiku.
Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta'ala. Sekelumit cerita
tadi adalah salah satu hal 'kecil' yang membuat saya kecewa. Kecewa karena
tidak bisa 'sekedar' membahagiakan orang tua. Walaupun hanya dengan kehadiran
kita di sisi mereka. Hal itu mungkin 'kecil' jika dibandingkan dengan misalnya
seorang anak yang melakukan kedurhakaan kepada orang tuanya. Jika kita timbang,
mungkin cerita tadi masih tergolong kecil dibandingkan 'level' dosa ketika anak
durhaka kepada orang tuanya. Atau, seorang anak yang melakukan hal-hal yang
nyata-nyata membuat orang tua kecewa. Misalnya narkoba, main judi, tidak mau sholat
dan lain-lain. Tentu hal-hal itu lebih menyakitkan hati orang tua kita. Tetapi
bisa jadi 'besar' jika mengingat pahala besar pula yang sudah kita lewatkan.
Sesungguhnya senyum kebahagiaan orang tua karena kita, adalah pahala yang
sangat besar. Sebaliknya setetes air mata kesedihan orang tua dikarenakan ulah
kita, maka sungguh itu adalah dosa yang sangat besar dan sudah cukup untuk
menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Na'udzubillah.
Birrul
walidain adalah topik yang sangat mudah membuat saya baper. Maka dari itu, satu tips dari
saya ketika kita sedang 'down' adalah
dengan mengingat Birrul walidain. 'Down' ketika misalnya kita lagi sedih,
ketika kita lagi gagal mencapai sesuatu, bahkan ketika kita malas beribadah,
dan lain sebagainya. Ketika kita merasa seperti itu, ingatlah tentang Birrul walidain, maka mudah-mudahan hati
kita akan tergerak lebih bersemangat, lebih optimis dalam hidup. Misalnya
seorang pelajar yang sedang malas belajar. Ketika dia teringat atau tahu bahwa
senyum kebahagiaan orang tua adalah pahala yang sangat besar. Maka bisa jadi
dengan mengingat Birrul walidain dia
akan bersemangat lagi untuk belajar, karena dengan belajar dan mendapatkan
nilai baik, maka orang tua akan bahagia. Kebahagiaan orang tua adalah pahala
besar bagi kita.
Sejenak saya jadi
teringat dengan suatu cerita dari setidaknya dua orang ustadz dalam suatu
kajian bertema tentang Birrul walidain.
Cerita itu sangat menyentuh. Setidaknya ada ustadz Syafiq Riza Basalamah dan
Ustadz Abu Zubair Al Hawary di youtube yang pernah menyampaikan cerita yang
sama. Cerita ini tidak bersumber dari Al qur'an maupun hadits, tetapi merupakan
syair atau karangan pujangga zaman dahulu. Tetapi walaupun bukan dari Al qur'an
dan hadits, cerita itu bisa membantu kita untuk menghayati bagaimana hati orang
tua (khususnya ibu) kepada anak-anaknya. Dengan begitu, maka memudahkan kita
untuk melakukan apapun dalam rangka berbakti kepada kedua orang tua.
Cerita itu kalau saya
ringkas kurang lebih seperti ini :
***
Suatu ketika ada pemuda
yang dijanjikan akan diberikan emas dan perak oleh seseorang. Orang ini akan
memberikan emas dan peraknya jika pemuda tadi mau memberikan hati ibunya. Maka
bergegaslah sang pemuda menemui ibunya. Ditikamnya dada ibunya dan diambillah
hatinya.
Saking tergesa-gesanya
pemuda itu untuk segera mendapatkan emas dan perak, maka ketika sedang berlari
terjatuhlah sang pemuda karena kakinya tersandung batu. Maka terlepaslah hati
sang ibu dari gengaman pemuda itu. Hati sang ibu itu terjatuh ke tanah dan
berlumuran dengan debu. Dalam keadaan seperti itu, berkatalah hati sang Ibu,
"Nak, apakah engkau baik-baik saja?".
Mendengar perkataan hati sang ibu tersebut, bergetarlah hati pemuda itu. Maka
diambilnya hati sang ibu dan dibasuhnya dengan cucuran air mata penyesalan.
Saking menyesalnya, pemuda itu mengambil pisaunya dan hendak ditikam ke
dadanya. Melihat hal itu berkata lagi hati sang ibu, "Tahan tanganmu wahai anakku, jangan engkau tikam hatiku untuk yang
kedua kalinya".
***
Pembaca yang dirahmati
Allah Subhanahu wa ta'ala. Itulah ibu
kita. Sungguh menakjubkan hati seorang ibu. Walaupun sudah disakiti oleh
anaknya sekalipun, sayangnya tidak akan pernah pupus.
0 Comments:
Posting Komentar